PENYELESAIAN MASALAH SOSIAL MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS TERINTEGRASI DAN KOMPREHENSIF
PENYELESAIAN MASALAH SOSIAL MELALUI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS TERINTEGRASI DAN KOMPREHENSIF
Surakman
surakman.lovers@gmail.com
Abstrak
Penelitian
kerjasama dengan HISPISI ini merupakan
wujud ketertarikan komunitas pendidikan ilmu sosial dalam
mempertimbangkan berbagai permasalahan sosial yang muncul, khususnya yang
berkaitan dengan kajian disiplin ilmu humaniora, sastra. Melalui pembelajaran IPS yang terpadu dan komprehensif diharapkan
peserta didik mampu mengatasi permasalahan sosial di
lingkungannya. Tinjauan umum tentang isi dokumen-dokumen di bidang
ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk berbagai dokumen yang dianggap paling
penting bagi kebutuhan pendidikan peserta didik, terutama yang berkaitan dengan
pembentukan kemampuan memahami realitas sosial, yang dapat memberikan nilai
bagi peserta didik. , baik dalam bentuk internal pribadinya, maupun dalam
bentuk eksternal lingkungan sosialnya. Selain itu, mempelajari mata pelajaran
IPS mempunyai kemampuan membentuk sikap sosial berdasarkan watak dan jati diri
di lingkungannya, khususnya sebagai warga masyarakat Indonesia, yang mempunyai
etika dan budi pekerti yang tinggi. Segala potensi yang terkandung dalam konten
ilmu sosial harus diintegrasikan. Oleh karena itu, pembelajaran mengajar IPS
dengan cara ini memerlukan pemahaman yang luas, tidak hanya dari segi
pengetahuan tetapi juga berupa keterampilan, nilai, sikap dan tindakan. Melalui
keempat aspek tersebut, pembelajaran terpadu dan komprehensif dapat menjawab
persoalan-persoalan sosial yang terdapat pada seluruh aspek pendidikan IPS, serta mendorong pemikiran
kritis siswa terhadap persoalan-persoalan sosial di lingkungannya.
Kata kunci:
Masalah sosial, pembelajaran,
pengajaran mata pelajaran sosial, integrasi, komprehensif.
PENDAHULUAN
Era globalisasi
ditandai dengan semakin kuatnya komunikasi dan informasi di berbagai belahan dunia, tidak dibatasi oleh jarak atau
ruang, dan tidak mengenal batas negara.
Kemajuan teknologi dan informasi di Indonesia tidak hanya membawa dampak
positif namun juga negatif.
Dampak
teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi banyak kelompok berbeda
di Indonesia. Baik orang tua maupun remaja dan anak-anak. Sisi positif dari
kemajuan ini antara lain adalah pesatnya penyebaran informasi dari berbagai
belahan dunia, namun kemudahan akses terhadap informasi terkadang menimbulkan
dampak negatif, seperti siaran yang kasar, vulgar, atau hoax. Banyak tindakan
provokatif yang tersebar di jejaring sosial sehingga menimbulkan penyimpangan
perilaku.
Kelompok
pendidikan yang juga merasa terganggu adalah
HISPISI (Himpunan Profesi Guru Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia). Pada
kolom komentar Pembahasan Mata Pelajaran IPS SMP/MT tanggal 29 April 2010
banyak dikemukakan secara gamblang fenomena-fenomena yang mempunyai
permasalahan sosial, antara lain: bentuk-bentuk pelanggaran dan perilaku tidak
tertib. Misalnya saja meningkatnya kenakalan dan tawuran antar pemuda/pelajar,
perilaku asusila dan tidak manusiawi, vandalisme, korupsi dan ketidakjujuran,
kolusi dan budaya bullying, pemerintahan yang anarkisme dan tindakan kekerasan,
munculnya geng-geng mahasiswa, penggunaan obat-obatan terlarang. . dan lemahnya
kemandirian dan jati diri bangsa (HISPISI, 2010: 1). Penelitian kerjasama
dengan HISPISI ini merupakan wujud
ketertarikan komunitas pendidikan ilmu sosial dalam mempertimbangkan berbagai
permasalahan sosial yang muncul, khususnya yang berkaitan dengan kajian
disiplin ilmu humaniora, sastra. Hal ini sesuai dengan perkembangan teori
belajar empiris, yang muncul dari permasalahan sehari-hari (Hill, 2010: Pertama).
Namun
pembelajaran terapan yang sebenarnya tidak selalu sejalan dengan teori empiris.
Salah satu permasalahan utamanya adalah
pendidikan di Indonesia selama ini cenderung menekankan pada materi
pengajaran sehingga bersifat intelektual (HISPISI, 2010: 1). Bahan ajar
sosiologi di Indonesia sebenarnya sangat kaya akan berbagai informasi kognitif
yang berbeda-beda, sehingga ungkapan umum untuk menguasai mata pelajaran
sosiologi di sekolah hanya perlu “membaca dengan cermat”, “kuat ingatan”. ,
“banyak menulis”, sekedar “mengingatkan”, agar kita sadar akan “kegagalan”
sifat tujuan pengenalan mata pelajaran
IPS di sekolah. Melaksanakan pengajaran IPS di sekolah pada hakekatnya
bergantung pada pengetahuan guru itu
sendiri, terutama pemahaman tentang tujuan pembelajaran IPS. Oleh karena itu,
untuk memahami tujuan pembelajaran IPS, seseorang harus memahami landasan
pengajaran IPS. Dilanjutkan dengan pemahaman tentang konsep-konsep dasar IPS
dan bagaimana berbagai konsep dasar
IPS dapat bermanfaat bagi siswa dalam
memecahkan permasalahan masyarakat secara terpadu dan komprehensif. Baik di
lingkungan tempat mereka tinggal maupun
lingkungan yang lebih luas.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Masalah sosial
Menurut Jensen
dalam Suharto (1997), permasalahan sosial adalah perbedaan antara harapan dan
kenyataan atau kesenjangan antara
keadaan saat ini dengan keadaan yang seharusnya. Munculnya permasalahan sosial
menurut Sumarnonugroho (1987) disebabkan oleh perubahan demografi (peningkatan
atau penurunan atau perubahan komposisi penduduk), perubahan ekologi (perubahan
hubungan antara (manusia) digital dan lingkungan), perubahan budaya (perubahan
hubungan masyarakat) produksi), inovasi manusia, termasuk perubahan teknologi
dan perubahan struktural (perubahan organisasi), dan hubungan sosial).
Perubahan alam
seringkali tidak mendapat banyak perhatian atau tanggapan karena dianggap
wajar. Pada saat yang sama, perubahan yang direncanakan sering kali menuai
kritik keras jika harapan tidak tercapai atau timbul masalah sosial karena
ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.
Seperti kita ketahui, salah satu
permasalahan sosial yang mendalam di Indonesia adalah kemiskinan. Angka
kemiskinan semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS),
rata-rata kenaikan angka kemiskinan
perkotaan di setiap provinsi selama periode 2013-2017 adalah sebesar 0,06%.
Itang
(2017) yang melakukan penelitian mengenai faktor penyebab kemiskinan
menyebutkan bahwa di Indonesia jumlah penduduk miskin menurut BPS Pusat pada
bulan Maret 2014 sebanyak 28,28 juta
jiwa. Faktor-faktor penyebab kemiskinan, khususnya:
1)
Tingkat
pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan berarti seseorang kurang
memiliki keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupan. Keterbatasan
pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang mengakibatkan terbatasnya
kemampuannya dalam berpartisipasi dalam dunia kerja.
2)
Kemalasan
dalam bekerja. Sikap malas (pasif atau menunggu nasib) menjadikan orang acuh
tak acuh dan kurang semangat dalam bekerja.
3)
Keterbatasan
sumber daya alam. Suatu masyarakat akan menjadi miskin apabila sumber daya alam
tidak lagi memberikan manfaat bagi kehidupan. Seringkali orang mengatakan bahwa
masyarakat yang miskin disebabkan oleh lemahnya sumber daya alam.
4)
Terbatasnya
kesempatan kerja. Terbatasnya kesempatan kerja akan menimbulkan kemiskinan bagi
masyarakat. Idealnya, seseorang dapat menciptakan lapangan kerja baru, padahal
kenyataannya hal ini sangat kecil kemungkinannya bagi masyarakat miskin karena
terbatasnya modal dan keterampilan.
5)
Batasan
modal. Seseorang dikatakan miskin karena tidak mempunyai modal untuk membekali
dirinya dengan alat atau bahan yang diperlukan untuk menerapkan keterampilan
yang dimilikinya guna memperoleh penghasilan.
6)
Tanggung
jawab keluarga. Jika seseorang dalam suatu keluarga mempunyai banyak anggota, jika tidak diimbangi dengan
upaya peningkatan pendapatan maka akan menimbulkan kemiskinan, karena semakin
besar jumlah anggota keluarga maka semakin banyak pula tuntutan atau beban hidup yang harus dipenuhi.
2.
Mengajar mata pelajaran sosial
Istilah
Pendidikan Ilmu Sosial merupakan
terjemahan dari apa yang dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di Amerika
disebut Ilmu Sosial (Daldjoeni, 1981:6). Menurut Sapriya (2009:8) Ada beberapa
istilah yang umum digunakan di perpustakaan luar negeri terkait IPS, yaitu: Ilmu-ilmu
sosial, pendidikan sosial, pengajaran ilmu-ilmu sosial, pengajaran ilmu-ilmu
sosial, pendidikan kewarganegaraan, studi sosial dan lingkungan. Namun definisi yang paling berpengaruh datang dari
Edgar Wesley pada tahun 1973 sebagai berikut: “Ilmu Sosial adalah ilmu sosial
yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan” (dalam Sapriya, 2009:9).
Definisi
tersebut, yang ditetapkan secara resmi oleh NCSS (National Council for the
Social Studies), sebuah organisasi
profesi di Amerika Serikat, pada tahun
1993 adalah sebagai berikut: “Riset sosial merupakan kajian terpadu
ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Sebagai
bagian dari kurikulum sekolah, IPS
menyediakan studi yang terkoordinasi dan sistematis yang menggambarkan disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi,
ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama,
dan sosiologi, serta konten yang relevan dari humaniora, matematika, dan ilmu
alam. Tujuan utama dari IPS adalah untuk membantu generasi muda mengembangkan
kemampuan untuk membuat keputusan yang terinformasi dan beralasan demi kebaikan
bersama sebagai warga negara dari masyarakat yang demokratis dan beragam budaya
dalam dunia yang saling bergantung” (Sapriya, 2009:10).
Mungkin
definisi ini sangat komprehensif, khususnya: Pendidikan IPS di Amerika Serikat
adalah integrasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora untuk meningkatkan kemampuan
atau keterampilan kewarganegaraan. Digunakan dalam kurikulum sekolah,
pengajaran IPS merupakan struktur komprehensif yang menggambarkan studi
sistematis berbagai ilmu, seperti antropologi, arkeologi. , ekonomi, geografi,
sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi.Serta
sumber-sumber seperti konten yang terdapat di bidang humaniora, matematika dan
ilmu alam. Prioritas pendidikan IPS adalah
membantu remaja dalam masa pertumbuhan membuat keputusan yang
terinformasi dan beralasan untuk menjadi warga negara yang baik dari beragam
budaya, menghadapi beragam masyarakat demokratis di seluruh dunia. Dalam
konteks Indonesia, Somantri (2001:92) mendefinisikan pendidikan ilmu-ilmu
sosial sebagai seleksi ilmu-ilmu sosial
dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diselenggarakan dan disajikan
secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian di
atas, yang terpenting adalah melakukan penelitian terhadap seluruh dokumen yang
ada pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian membangun “formula tertentu”,
sehingga ruang lingkup bahan ajar mata pelajaran Sosial yang digunakan dalam
pembelajaran di sekolah sudah tepat. ilustrasi. Tinjauan umum tentang isi
dokumen-dokumen di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk berbagai
dokumen yang dianggap paling penting bagi kebutuhan pendidikan peserta didik,
terutama yang berkaitan dengan pembentukan kemampuan memahami realitas sosial,
yang dapat memberikan nilai bagi peserta didik. , baik dalam bentuk internal
dalam diri individu maupun dalam bentuk eksternal
3.
Integrasi
Integrasi
berasal dari memadukan kata-kata menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
yang bercampur hingga menjadi satu kesatuan yang utuh atau bulat. Dalam dunia
pendidikan disebut pembelajaran terpadu atau pembelajaran terpadu. Istilah
pembelajaran terpadu berasal dari kata pembelajaran terpadu atau pendekatan
kurikulum terpadu, konsep ini dikemukakan oleh John Dewey dengan tujuan
mengintegrasikan perkembangan kemampuan, pertumbuhan dan pengetahuan siswa (Beans dalam Syaefuddin,
2006:4). Karli (2003:52) menambahkan
bahwa pembelajaran terpadu adalah kegiatan yang melibatkan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik melalui keterpaduan beberapa mata pelajaran. Dalam
pembelajaran terpadu IPS, kurikulumnya dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu
kelompok ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu IPS dapat mengambil topik dari suatu disiplin
ilmu tertentu kemudian melengkapi, memperdalam, dan memperluasnya dengan
disiplin ilmu lain. Misalnya, topik
disiplin Ekonomi “Pasar untuk Masyarakat” dapat dikaji bersama
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti: Ilmu sejarah membahas tentang sejarah pasar, geografi
membahas tentang lokasi pasar, dan
sosiologi membahas tentang kondisi sosial masyarakat yang berinteraksi satu sama lain di pasar.
4.
Holistik
Holistik dalam
arti KBBI merupakan suatu pendekatan terhadap suatu permasalahan atau gejala
yang memandang permasalahan atau gejala tersebut sebagai satu kesatuan yang
utuh. Secara hukum, model pembelajaran komprehensif di Indonesia telah
dituangkan dalam UU No. Keputusan Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pada Bab III Pasal 4 Ayat 2 menegaskan bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu kesatuan sistematik dengan sistem terbuka dan
multifaset (UU No. 20 Tahun 2003:12-13).
Pendidikan dan
pembelajaran yang dilakukan secara holistik diyakini akan mampu memberikan kontribusi
bagi pengembangan potensi siswa secara optimal, utuh dan seimbang serta
melahirkan makna atau nilai yang dapat dirasakan oleh siswa. Sedangkan Taufik
(2011:6-4) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran holistik diilhami oleh psikologi Gestalt yang
dipelopori oleh Wertheimer, Koffka, dan Kohler. Menurut mereka, objek atau
peristiwa tertentu akan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu kesatuan yang
terorganisir. Makna suatu hal atau peristiwa hanya dapat dilihat apabila
diamati secara keseluruhan dan keseluruhan itu bukan merupakan penjumlahan dari
bagian-bagiannya. Sebaliknya, suatu bagian yang baru akan mempunyai makna jika
dikaitkan dengan keseluruhan.
Pembelajaran
IPS merupakan salah satu jenis pembelajaran
holistik, sebagaimana dikemukakan oleh Gunawan (2016) yang menyatakan
bahwa: Model pendidikan di Indonesia telah terbentuk dalam sejarah yang
panjang. Dari masa Hindu-Buddha hingga masa penjajahan Jepang, model pendidikan
yang dibentuk hampir sama, yaitu guru dianggap sebagai orang yang sangat
terhormat karena peran guru diemban oleh guru.Brahman (masa Hindu-Budha), ustad
/ajengan. (era perkembangan agama.
PEMBAHASAN
Pendekatan
pembelajaran IPS yang terpadu dan komprehensif merupakan salah satu hal yang
perlu dilakukan. Dalam fenomena sosial yang penuh permasalahan, diperlukan komitmen politik yang nyata. Segala potensi
yang terkandung dalam konten ilmu sosial harus diintegrasikan. Oleh karena itu,
pembelajaran mengajar IPS dengan cara ini memerlukan pemahaman yang luas, tidak
hanya dari segi pengetahuan tetapi juga berupa keterampilan, nilai, sikap dan
tindakan. Keempat dimensi tersebut sering disebut dengan dimensi pendidikan
IPS, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Pengetahuan
(pengetahuan)
Dimensi ini
merupakan bagian mendasar untuk dieksplorasi pada tingkat lanjutan. Langkah ini
berkaitan langsung dengan konsep dasar pendidikan IPS yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya. Pengetahuan harus mencakup: fakta, konsep dan
generalisasi. Peristiwa adalah data
spesifik tentang peristiwa, benda, orang, dan kejadian (event).
Misalnya, siswa sekolah menengah mengetahui fakta tentang: Masjid peninggalan
Sultan Suriansyah, tempat acara perdagangan bazar, pegunungan Meratus dan
tempat lainnya. Konsep adalah kata-kata atau ungkapan yang dikelompokkan,
diklasifikasi, dan memberi makna pada kelompok fakta yang berkaitan.
Generalisasi adalah ungkapan atau pernyataan dari dua atau lebih konsep yang
berkaitan (Sapriya, 2009:50).
b.
Keterampilan
(Keterampilan)
Keterampilan yang perlu Anda
pelajari untuk mengajar ilmu social Timur:
(1)
Keterampilan
meneliti, dimana peserta didik harus mampu mengamati permasalahan sosial yang
ada di lingkungan terdekatnya.
(2)
Keterampilan
berpikir menganalisis permasalahan sosial yang nyata. Di sini siswa
mengembangkan kemampuan analisis untuk mampu memecahkan dan memberikan solusi
terhadap permasalahan yang dihadapinya.
(3)
Keterampilan
partisipasi sosial, berpartisipasi dalam kegiatan lingkungan setempat. Siswa
harus mampu mengembangkan sikap toleransi dan peduli satu sama lain.
(4)
Keterampilan
komunikasi. Melalui komunikasi yang baik, siswa dapat menyampaikan gagasan dan
perasaannya kepada orang lain.
Semua aspek ini
kemungkinan besar dimiliki bersama oleh
guru dan siswa. Jika hal itu
diwujudkan dalam pembelajaran maka proses eksplorasi dalam pembelajaran mata
pelajaran IPS akan berjalan dengan baik.
c.
Versus
Nilai dan sikap
Nilai mengacu
pada seperangkat keyakinan pribadi atau prinsip perilaku seseorang atau sekelompok orang tertentu yang
terungkap ketika mereka berpikir atau bertindak. Dimensi ini mencakup
nilai-nilai:
(1)
Nilai
intrinsik, yaitu nilai dasar yang dianut seseorang berkat hasil pendidikannya.
Keduanya merupakan warisan dari keluarga dan lingkungan sekolah.
(2)
Nilai
prosedural, meliputi: nilai-nilai kemandirian, toleransi, kejujuran, menghargai
kebenaran dan menghargai pendapat orang lain.
d.
Bekerja
Tindakan adalah
kunci terpenting untuk menyelesaikan masalah apa pun. Tindakan ini merupakan
wujud nyata dari hasil tiga bagian sebelumnya. Misalnya saja seorang anak
melihat sampah di tengah jalan, padahal ada aspek lain, anak pasti akan
menyadari bahwa itu bukanlah hal yang baik. Jadi yang dia lakukan adalah
memungut sampah.
Isu sosial
menjadi inti permasalahannya, sesuai dengan materi pembelajaran di sekolah.
Gambar di atas hanyalah salah satu contoh
pendekatan terpadu dan komprehensif (Alma, dkk, 2010:23). Integrasi pada
tabel di atas bukan hanya sekedar politik, ekonomi, sosiologi dan hukum; Tentu
kita harus menambahkan sejarah, antropologi, psikologi, geografi, filsafat dan
agama.
Oleh karena itu
permasalahan sosial harus diikuti dengan muatan pendidikan ilmu-ilmu sosial
yang materinya harus benar-benar terpadu
dan holistik. Ini melibatkan berbagai bidang proses pembelajaran. Materi yang
disampaikan mematuhi standar keterampilan, baik keterampilan dasar maupun indikator
sesuai topik. Misalnya saja pada materi IPS kelas VII yang keterampilan
dasarnya menganalisis kondisi alam dan
batas wilayah kepulauan Indonesia untuk melatih berpikir kritis dan menumbuhkan
rasa bangga terhadap keindahan, keindahan dan kekayaan alam Indonesia, mengenal kelestarian nusantara.
perbatasan, sehingga mereka terpacu untuk melestarikan dan melindunginya, serta
merasa bangga dan percaya diri. Indikator;
1)
Mendeskripsikan
kondisi alam Indonesia.
2)
Menunjukkan
batas wilayah kepulauan Indonesia (lintang dan bujur serta benua).
3)
Menumbuhkan
rasa cinta terhadap kekayaan dan keindahan alam Indonesia. Materi ini dapat
diberikan dengan uraian yang disajikan dalam buku atau penjelasan guru.
Selain itu,
menumbuhkan sikap kritis siswa terhadap permasalahan sosial di lingkungannya
masing-masing. Misalnya, masalah umum meliputi: sampah di sungai, penggundulan
hutan, penambangan liar, disiplin lalu lintas, perusakan pekerjaan umum, dll.
Jika kita menganggap sampah sungai
sebagai inti permasalahannya, maka materi yang disampaikan bisa dianggap utuh
dan komprehensif.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Permasalahan sosial dapat diselesaikan melalui pendidikan IPS dengan pendekatan terpadu dan komprehensif.
2.
Pengajaran
mata pelajaran IPS harus mengutamakan keterampilan yang diperlukan untuk
memecahkan masalah sosial dalam segala aspek.
3. Penerapan Pengajaran IPS mencakup 4 dimensi yaitu: pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap dan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari, dkk. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Alfabeta.
Bandung.
Al Muchtar, Suwarma. Visi dan Misi Pendidikan IPS Dalam Perspektif
Perubahan Sosial
Budaya. MakalahSeminar dan lokakarya Kuliah Perdana Program studi Magister Pendidikan IPS FKIP UNLAM. Banjarmasin, 6 Maret 2010.
Daldjoeni. N. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Alumni.
Bandung.
Gunawan, Rudy. 2017. Pendidikan Holistik dalam Pembelajaran IPS di SMP/MTS. in: Pendidikan Holistik Konsep dan Implementasi dalam Pendidikan. Jakarta: Uhamka Press.
Hill. Winfred F. 2010. Theories of Learning.Teori-teori Pembelajaran ,Konsepsi, Komparasi dan Signifikansi. Penerbit Nusa Media. Bandung.
HISPISI. 2010. Pendidikan IPS (definisi, tujuan, SKL, konten,
proses dan asesmen).
Makalah. Yogyakarta.
https://www.bps.go.id/publication.html
ITANG, Itang. Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan. Tazkiya, [S.l.],
v. 16, n. 01,
p. 1-30, Jan. 2017.
ok
BalasHapus